Langsung ke konten utama

TaNPa JUduL



Jalan ini pasti ada ujungnya dan berkatnya

Waktu jam kerja dikantor sebenarnya hanya mpe jam 17:00 WIB. Tapi selama seminggu ini aku baru meninggalkan kantor kurang lebih pukul 21:00 WIB. Bukan karna lembur, tapi aku merasa toh pulang cepet juga ngapain dirumah. Meski hanya aku sendiri yang tinggal digedung in (selain satpam yang tentunya berjaga di hall lantai dasar) aku nggak merasa takut. Terus terang aku jenuh ada dikost-an. Toh juga nggak ngerjain apa-apa. 
Pada hari sebelumnya aku menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan atau aktifitas yang menyita perhatianku, agar pikiran nggak melayang kesana kemari, terutama biar nggak ingat pada sstu, tepatnya sso. Dengan kata lain, aku berusaha ngatasi kesepianku dengan cara aktif kegiatan ini itu, belajar ini dan itu, membaca buku ini dan itu dan terus lari, lari dan lari. Kesepian dan kekosongan itu begitu menakutkan sehingga aku enggan menghadapinya dengan tenang. 
Malam ini aku juga baru pulang ke rumah pada pukul 20:00 WIB. Namun sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya, tak ada usaha melarikan diri dari apapun . Aku berusaha menikmati dan merasakan sungguh-sungguh kesendirian dan kekosonganku. Tak ada buku ditangan, nggak menyalakan tape, nggak berusaha memikirkan atau mengharapkan apa-apa. Nggak pergi kemana-mana. Nggak langsung tidur. Aku hanya ingin diam dan memandang bintang dilangit sana. Ada dua bintang kelap-kelip dilangit sebelah barat kamarku. Lampu kamar yang sengaja kumatikan membuat mataku lebih leluasa menikmati kedipannya.
Kebetulan tetangga kamar yang biasanya ngomong keras-keras kayak dihutan luas lagi nggak dirumah. Klop-lah keheningan malam nih. Perlahan, namun pasti, tanpa kuundang, peristiwa sebelum aku lahir tergambar jelas dimataku. Ada mama yang mengandung aku. Dia masih sangat muda waktu itu, karna menikah dengan ayahku diusia 18 tahun. Ada abang (ito) yang baru berusia kurang dari 2 tahun, ingusan dan ndusel dipangkuan mama. Ayah ngarit kemenyan yang baru dicarinya bersama kakek selama kurang lebih seminggu yang lalu. Kakek duduk didekat perapian, memandang kayu api yang sedikit demi sedikit berubah menjadi bara dan akhirnya menjadi abu. Semua larut dalam diam, menunggu senja yang bergulir menjadi malam dan waktu makan malam tiba. Ayah, ibu, abang, kakek, nenek dan uda (adik ayah) segera berkumpul dan bersantap malam. 
Seperti biasa, makan malam diawali dengan makan singkong rebus yang tadi mama masak. Tak seperti kebanyakan orang yang makan singkong dengan senang hati. Seluruh personel ini sebenarnya sudah bosan dengan makanan ini, namun apa daya, nasi yang disiapkan untuk makan malam hanya cukup untuk mengisi sedikit bagian dari perut. Ikan asin yang dibakar diperapian menjadi menu special buat mereka setiap harinya. Namun, syukur pada Allah, mereka masih bisa berdoa dan mengucap syukur untuk apa yang mereka terima. Gubuk kecil tanpa sekat, yang dibagi beberapa keluarga, masih bisa makan meski dengan singkong dan sepotong kecil ikan asin bakar dan terutama masih bisa sehat dan bekerja disawah setiap harinya. 
Tepat tanggal 7 September ditahun 1980, ayah harap-harap cemas dan lebih banyak cemasnya, karena bidan desa belum berhasil membantu sijabang bayi datang kedunia. “sudah hampir 3 jam, sijabang bayi masih belum lahir juga. Bandel juga nih anak kayaknya, keluar masuk terus dari tadi, tapi biasanya anak seperti ini paling ngerti mamanya kalo dah besar. Tenang aja. Dia pasti lahir sehat”. Kata bindes nenangin hati bapak, ibu dan keluarga lainnya. Tepat pukul 15:00 tangis keras sijabang bayi membuat hati yang cemas-cemas harap akhirnya bernafas lega, si jabang bayi sudah lahir. Perempuan. Orang yang paling senang diantara semua yang hadir adalah ayahku. Anaknya yang kedua adalah perempuan. Dia adalah aku. Tak heran kalau setiap kali mama terjaga, anaknya yang tercinta sedang digendong dan dininabookin oleh ayah. “Tuhan…. Terima kasih. Moga dia menjadi abdi-Mu kelak. Aku kpengen dia jadi suster nantinya”. Ayahku mengungkapkan doa itu dengan segenap hati, laksana ikrar yang hanya didengarkan oleh Allah dan alam semesta dan baru terungkap kembali saat anak yang dicintainya berusia 9 tahun. 
Hidup terus berjalan. Keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat perhatian ayah dan ibu seringkali tak terasa lagi. Saat matahari terbit, ayah dan ibu bergegas ke sawah dan saat matahari terbenam, hanya lelah yang tersisa. Tak ada waktu lagi untuk si-anak tersayang. 
Waktu terus bergulir. Tahun demi tahun berganti, namun tak ada perubahan yang berarti dalam keluarga Makmur (nama keluargaku). Gubuk reyot itu masih tetep sama, singkong dan sepotong ikan asin bakar masih tetep menjasi makanan pokok, beberapa potong pakaian bekas yang sudah robek sana-sini masih menjadi inventaris tetap. Tak ada yang berubah. 
Sejak aku bisa jalan sendiri, teman sejatiku adalah kakak (abang) kemana-mana bersama. Dia yang menjagaku. Mama mberi dia tugas untuk ngajari aku megang cangkul, nyabutin rumput dari sela-sela tanaman padi, dan metik cabe dan kopi yang udah layak panen. Belum bisa berjalan dengan cepat namun diusiaku yang ke 7 aku dan kakakku sudah harus keladang berdua, ngambil singkong (ubi kayu) untuk makan sehari-hari. 
Karena biaya hidup semakin besar dan dua tiga orang adikku juga sudah bertumbuh dewasa, mama ngijinkan aku ikut bulik di Medan dan bertugas menjaga adik-adik sepupuku yang masih kecil sementara bulik dan paklik ngajar disekolahan. Aku jadi baby sitter. Siang setelah bulik dan paklik pulang sekolah, giliranku untuk pergi ke sekolah. Aku sekolah siang. “Gak apa-apa, yang penting aku bisa sekolah dan punya dua pasang baju baru” pikirku menghibur diri, meski setiap sore, persis saat azan magrib terdengar, hatiku pilu dan sepi, merindukan mama yang jauh di kampung halaman. 
Ngerasa nggak kuat kangen mama terus menerus, kuputuskan untuk kembali ke desa setelah menikmati kota Medan dan segala kesepian dan keindahannya (awal kedekatanku yang paling berkesan dengan Jesus, yang menjadi tempatku mengadu setiap waktu saat hatiku sedih). Aku kembali kekesederhanaan dan kemiskinan yang sama seperti sediakala. Namun aku senang, menjalani hari-hari kesawah. Bekerja keras meski sebagai anak kecil aku juga masih ingin bermain bersama teman-temanku yang lainnya. Kadang membantu ayah membuat arang  dihutan dan menemaninya mencari bahan anyaman untuk membuat keranjang dan kerajinan tangan lainnya. Aku sebagai anak perempuan paling besar memikul tanggung jawab yang besar dipundak untuk kehidupan keluargaku. 
Dalam segala kesederhanaan dan kemiskinan inilah aku mengenal mama yang berjuang mati-matian bahkan berjuang lebih keras dibanding ayah yang kesehatan fisiknya nggak sekuat mama.
Saat itu juga, aku semakin mengenal kreatifitas ayah yang ternyata serba bisa namun tetep miskin dan kadang membuatku kesal. Mungkin justru kemiskinannya yang membuatnya begitu kreatif membuatkan apa aja. Sgala yang ada dirumah adalah hasil karyanya. Kecuali kuali, periuk dan termos. Jadi, sendok makan, sendok nasi, tampi, meja, tempat tidur, lemari, rumah dan segala perabot itu dia buat sendiri. Kadang aku jengkel jika keranjang yang dibuatnya segera saja menjadi milik orang lain karna tetangga kpengen memilikinya. Kadang hatiku jengkel ketika ayah mulai sibuk dengan pahatan dan ukir-ukirannya. Kecapi dan seruling yang dibuatnya dalam waktu yang cukup lama juga seringkali beralih tangan ketika orang lain menyukai dan ingin memilikinya. Waktu ayah juga habis untuk menggambar denah rumah dan membuatkan rumah bagi orang lain. Semuanya tak menghasilkan uang. Sementara mama harus banting tulang disawah dibantu oleh aku dan kakak yang tenaganya tak seberapa. Harapanku adalah ayah membantu mama disawah. Tapi mama bilang “ayahmu nggak kuat kalo kena lumpur, dia pernah hampir meninggal karena kakinya gatal”. Sekali lagi meski dengan berat hati, aku mencoba menerima keadaan ini dan belajar memahaminya. 
Sepatu bekas dari tetangga yang nggak akan pernah ganti sebelum kewer-kewer kayak lidah anjing, baju bekas dari rombengan untuk natalan dan kadang sembunyi-sembunyi ketika guru mendiktekan sesuatu dan aku nggak punya pulpen, kujalani dengan terpaksa iklas, karna nggak tega menuntut mama untuk memenuhi semua itu. Dan seabreg pengalaman hidup dalam keadaan pas-pasan membuatku ingin berjuang untuk anak-anak sepertiku. Itu menjadi “bintang yang berpijar dihatiku”. Cita-cita yang kubawa sejak aku mengerti ‘hati’ ini tetap bergema hingga kini. Meski cita-citaku dan cita-cita ayahku (aku jadi suster) kandas dijalan, namun tak berarti cita-cita utamaku kandas dijalan juga. Dia masih hidup, dan aku yakin akan menjadi realita. Mungkin bukan dengan cara yang spektakuler, namun pada satu waktu, bintang itu akan kugapai. 
Tiba-tiba kutersadar, ternyata aku telah jauh banget, berkelana kemasa lalu tanpa batas. Dan….. kenyataannya, saat inipun aku masih seperti ini. Masih tetap harus berjuang dan hidup dalam kesederhanaan. 
Nafas panjang kutarik dalam-dalam. Sejauh ini, kurang lebih 4 bulan aku di Jakarta. Mengawali segala sesuatu dari nol setelah sekian lama mengalami nikmat Allah dalam kelimpahan. Tak punya apa-apa namun Tuhan Allah masih memberiku semangat dan masih bertahan hidup, berjuang seperti sediakala. Satu yang kuhargai, bahwa aku nggak hanya berdoa, namun juga berusaha sungguh-sungguh. Aku percaya Tuhan Allah nggak menutup mata untuk itu. Maka aku percaya juga, suatu waktu usahaku akan membuahkan hasil dan “bintang itu akan berpijar”.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bunyi petasan dan kembang api tiba-tiba membuatku tersadar pada niat awal hening malam ini. “hhehheheh.. Gusti Pangeran… maunya kpengen ngerasakan sungguh kekosongan dan kesepianku.. eeehhhh ternyata kog jadi mbaca kitab kehidupan yah… tapi gpp deh. Makasih ya Gusti… nyuwun kawelasan lan berkah Ndalem Gusti Jesus. Matur sembah Nuwun”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAPI memang AKU RINDU

Thn 2011. nama-mu sering kali disematkan padaku dan namaku disematkan pada-mu Tak heran.. karna memang kita selalu bersama, bag sepasang sendal jepit atau bag kertas dan pena. kita saling melengkapi. kadang sama-sama jelek dan sama-sama bagus. kadang saling meninggalkan namun tak lupa pulang dan saling mencari. kita pernah bergumul dalam lumpur, berkubang dalam debu bersama, Berteriak bersama, tertawa ngakak walau tanpa alasan. Kita bersama.. Saling menguatkan meski sering tak sejalan. Pertengkaran kita bagaikan perang saudara, seakan tak pernah akan akur lagi. Namun setelah sesi diam yang tak pasti waktunya, kita "bicara" lagi dan berpelukan lagi Ah.. sebenarnya aku ingin lupa denganmu. sebenarnya aku ingin lari dari hadapanmu sebenarnya aku ingin tak bertemu denganmu lagi. TAPI AKU RINDU.. Mungkinkah kedatanganmu dalam mimpiku.. ...untuk memegang tanganku lagi? ...hendak menepuk-nepuk bahuku? ... hendak memberi hati dan telingamu dan terisak lalu tertaw

JALAN INI-KAH???

Thn 2015 Waktu itu gw sedang kuliah semester akhir, pergi ke Bali, dan bertemu sahabat. disana kusampaikan segala penat dan pergumulan batin.. termasuk pertanyaan yang bercokol di pikiranku "QUO VADIS DOMINO?" Tak sengaja, ketika bertemu sahabat, bekenalan dengan sahabat baru, sesaat. Melalui kartunya (TAROT), mulai dibaca-nya jalan panjang yang akan kulalui. namun suaranya sayup, tak terdengar jelas di ingatanku, meski terdengar jelas di telingaku. Ketika jalan yang diramalkannya itu kulalui, saat itu pula terhenyak dengan jelasnya suara-nya yg waktu itu menghilang di antara deburan ombak. "Semua baik, kecuali 2 titik yang akan sangat terjal dalam perjalananmu" menyadari hal ini, pertanyaan baru muncul lagi "INIKAH YG NAMANYA TAKDIR?" mengapa bisa persis seperti yang diramalkan? apakah Usaha dan Doa tak ada pengaruhnya? Semoga aku dikarunia-i hati dan pikiran yang hening dan bening agar dapat memahami maksud-Nya yang sering kali menjadi

Cukup, Sampai di Sini Saja......

Senja ini, saat mentari kembali keperaduannya, udarapun semakin dingin. Dari pada segera tertidur, aku memilih untuk merenungkan kembali perjalanan hidupku, ingin mengenang dan bersyukur atas pengalaman dan cinta yang kuterima dari keluargaku. Alunan biola yang terdengar merdu ditelinga, membawaku pada dua anak kecil berusia 4-5 tahun, Dera dan Gina, adiknya. Mereka bermain peran anak-anakan. Bermain di pertukangan karena tak diijinkan main diluar, bermain disamping ayahnya yang sedang membuat kecapi. Dera menggendong anak yang dibentuknya dari kain sarung, bersama Gina yang berperan menjadi tetangga. Tak terasa sudah berjam-jam dia disana. Hasrat ingin melihat dunia luar dan bermain dihalaman yang luas, menjerit minta dipenuhi. Namun ketakutan sang ayah pada Paneket (paneket = pembunuh) yang dikabarkan sedang berkeliaran diluar sana membuat sang ayah bersikeras untuk tidak membiarkan Dera bermain di luar. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka mengendap-endap keluar dari pintu