Senja ini, saat mentari kembali
keperaduannya, udarapun semakin dingin. Dari pada segera tertidur,
aku memilih untuk merenungkan kembali perjalanan hidupku, ingin
mengenang dan bersyukur atas pengalaman dan cinta yang kuterima dari
keluargaku.
Alunan biola yang terdengar merdu
ditelinga, membawaku pada dua anak kecil berusia 4-5 tahun, Dera dan
Gina, adiknya. Mereka bermain peran anak-anakan. Bermain di
pertukangan karena tak diijinkan main diluar, bermain disamping
ayahnya yang sedang membuat kecapi. Dera menggendong anak yang
dibentuknya dari kain sarung, bersama Gina yang berperan menjadi
tetangga.
Tak terasa sudah berjam-jam dia
disana. Hasrat ingin melihat dunia luar dan bermain dihalaman yang
luas, menjerit minta dipenuhi. Namun ketakutan sang ayah pada Paneket
(paneket = pembunuh) yang dikabarkan sedang berkeliaran diluar sana
membuat sang ayah bersikeras untuk tidak membiarkan Dera bermain di
luar.
Dengan sembunyi-sembunyi, mereka
mengendap-endap keluar dari pintu belakang dan hilang dari pandangan
sang ayah. Karena kesal, ayah keluar dan mengambil sebuah kayu yang
dijadikannya cemeti. Maksudnya ingin memberi pelajaran, agar Dera
tahu mana yang benar. Lesitan cemeti membuat Dera menangis histeris,
namun seakan tak ada gunanya. Ayahnya tetap mengayunkan cemeti itu
seperti sedang berolah raga, meliliti seluruh tubuh Dera. Satu hal
yang ada di hati Dera
"mama... cepetan
pulang...please, tolongin Dera".
Setelah ayah puas dengan
pukulannya, Dera dibiarkan menangis di sudut tangga rumah panggung
itu, menunggu malaikatnya datang untuk menolong dan mengajaknya pergi
kepesta.
Dalam hati Dera mencatat, untuk
kesekian kalinya ciuman cinta dan didikan lewat cemeti itu mendarat
di tubuhnya, tumpukan makian dan amarah menjadi gudang di jiwanya.
Dera sudah tak menangis lagi, namun ternyata sekian tahun jiwa-nya
menangis tersedu-sedu. Merasakan sakit, seperti ada satu luka yang
tak tahu asalnya dari mana, namun melemahkan tubuh dan jiwa,
merenggut kebahagiaannya.
Senja ini, kubuka mata dan
menyudahi semadi-ku. Ternyata ada aliran deras air mata, mengalir
dari kelopak mataku. Air mata untuk ketakberdayaan gadis kecil itu.
Dera, my inner child.
Dalam diamku kutemukan dinamika
yang sama, cara ayah dan ibu memperlakukanku menjadi pola baru
bagiku. Aku menjadi pelaku, yang mungkin dalam bentuk lain, melakukan
hal yang sama. Cara ayah dan ibu, telah menjadi caraku. Film-film
perjalanan hidup dan sikap dari pola baru itu, terlintas jelas dalam
benakku, dan aku sangat menyesalinya. Aku yang terluka telah menjadi
orang yang melukai.
Dalam diam di senja ini, aku
menemukan bahwa mereka juga sama, hasil produk masa lalu, terlahir
dan terluka, menjadi penerus warisan, warisan luka yang terpatri
dalam jiwa, dalam kalbu, turun temurun.
"Ayah.... Ibu... aku
menyesalkan cara ayah dan ibu dalam mendidikku dulu. Menyesalkan
sentuhan cemeti dan caci maki yang terarah padaku. Kebodohan kami
mungkin menghabiskan kesabaran-mu, kenakalan kami mungkin melukai
hati-mu. Namun, kami ini anak tak berdaya, tak tahu apa-apa. Yang
kami tahu, kami punya keinginan, kami ingin dimengerti, ingin bermain
dan diberitahu. Yang kami tahu adalah rasa sakit bekas pukulan di
kaki, tangan dan sekujur tubuh. Susah untuk
mengerti kata didikan yang tersirat dalam pukulan cemeti.
Rasa sakit di tangan, kaki dan
seluruh tubuh, sudah hilang dalam se-detik, se-menit, se-jam atau
paling lama dalam seminggu. Namun, ternyata cemeti dan makian
amarah-mu itu menorehkan pesan yang terpatri sangat kuat dalam loh
batu, luka dalam batin. terpatri kuat dalam memori jiwa, masuk dalam
seluruh aspek ketidaksadaranku. Laksana racun yang merembes ke-tiap
pori dan lapisan otak, hingga di sumsum tulang belakangku. Menjadi
acuan bagi jiwa untuk bersikap dan bertindak.
Sekarang aku sadar, syukur,
syukur ku diberi rahmat untuk pahami hal ini, bahwa aku masih
menyimpan warisan cemeti itu dan bahwa kalian juga adalah pewaris.
Kata Guruku, "JIKA AKU MAU,
KAMI BISA MELEPASKAN CEMETI ITU". Caranya, FORGIVENESS.
just like that.
Jadi, aku memaafkanmu. CUKUP
SAMPAI DISINI SAJA. Aku memilih memutus warisan luka dalam batin ini
dengan memaafkanmu. Kuterima pengalaman itu dan dirimu, apa adanya.
Kuterima cemeti itu sebagai tanda cinta dan sayangmu, namun kini,
tanda cinta dan sayangmu yang "itu' kuganti dengan yang lain.
Dan, hari ini kudapatkan kebahagiaanku lagi. So thank's my beloved
parent, for the experience and the other side from you, that's your
honest love, from within your heart. Thank's.
Komentar
Posting Komentar