Langsung ke konten utama

Mungkin


Detik demi detik menuju 7 September semakin terasa berat dan mencekam.
Tertidur dipangkuan malam.. hati yang lelah dan takut berharap.
Hingga fajar menjelang, tak ingin kubuka kelopak mata.
 Namun badan yang gelisah semalaman, tetap nggak bisa diajak kompromi.
Niat melewatkan 7 september tanpa sepengetahuanku, tak dapat terlaksana.
Dengan rasa sesal kulemparkan selimutku
Dan dengan enggan pula kusiram tubuhku dengan air…
Barangkali bisa membuat hati yang gelisah sedikit menjadi tenang.
Seperti yang sudah-sudah, hati-Nya yang tinggal dalam diriku
Meminta tuk bergi ke rumah Bapa, tuk mensyukuri hari ini… namun kuurungkan saja.
Mungkin ntar sore… atau mungkin juga tidak.
Sama seperti setiap kemungkinan yang lain.
Hati enggan untuk berharap dan takut berpikir yang mengarah pada harap.
Maka doa yang kudaraskan hanya “Bapa kami yang ada di Surga….”
Cukuplah untuk mengawali hari ini.
Setelah dua jam melarikan diri dengan game
Akhirnya kuputuskan untuk berziarah hari ini.
Ntah kemana hati membawa, kan kuikuti langkahnya.
Mungkin menyusuri kembali tahun-tahun yang telah berlalu.
Tuk melihat kembali setiap jejak dan tapak yang pernah kulalui,
Hingga hari ini ada, meski tak kuharapkan hadirnya.
God… tahukah Engkau?
Selama sekian tahun setiap tahunnya, moment ini kunanti dan kujadikan hari yang sakral,
Kurayakan bagaikan sebuah pesta,  perayaan akbar kehidupan?
Namun berbeda untuk tahun ini, Kutak ingin merayakannya.
bahkan berharap mentari lupa pada waktu berputarnya
dan segera masuk keperaduannya, tat kala mestinya dia berpijar terang.
Tentu saja itu tak mungkin terjadi.
Karna kuasa-MU melebihi inginku.
Maka meski aku tak ingin merayakannya, kujalani saja.
Biar berjalan apa adanya.
Untuk saat ini kutak akan berharap.
Give up. Cukup untuk saat ini.
Mungkin besok akan menjadi lebih baik, mungkin juga tidak.
Seperti kemungkinan kemungkinan lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAPI memang AKU RINDU

Thn 2011. nama-mu sering kali disematkan padaku dan namaku disematkan pada-mu Tak heran.. karna memang kita selalu bersama, bag sepasang sendal jepit atau bag kertas dan pena. kita saling melengkapi. kadang sama-sama jelek dan sama-sama bagus. kadang saling meninggalkan namun tak lupa pulang dan saling mencari. kita pernah bergumul dalam lumpur, berkubang dalam debu bersama, Berteriak bersama, tertawa ngakak walau tanpa alasan. Kita bersama.. Saling menguatkan meski sering tak sejalan. Pertengkaran kita bagaikan perang saudara, seakan tak pernah akan akur lagi. Namun setelah sesi diam yang tak pasti waktunya, kita "bicara" lagi dan berpelukan lagi Ah.. sebenarnya aku ingin lupa denganmu. sebenarnya aku ingin lari dari hadapanmu sebenarnya aku ingin tak bertemu denganmu lagi. TAPI AKU RINDU.. Mungkinkah kedatanganmu dalam mimpiku.. ...untuk memegang tanganku lagi? ...hendak menepuk-nepuk bahuku? ... hendak memberi hati dan telingamu dan terisak lalu tertaw

JALAN INI-KAH???

Thn 2015 Waktu itu gw sedang kuliah semester akhir, pergi ke Bali, dan bertemu sahabat. disana kusampaikan segala penat dan pergumulan batin.. termasuk pertanyaan yang bercokol di pikiranku "QUO VADIS DOMINO?" Tak sengaja, ketika bertemu sahabat, bekenalan dengan sahabat baru, sesaat. Melalui kartunya (TAROT), mulai dibaca-nya jalan panjang yang akan kulalui. namun suaranya sayup, tak terdengar jelas di ingatanku, meski terdengar jelas di telingaku. Ketika jalan yang diramalkannya itu kulalui, saat itu pula terhenyak dengan jelasnya suara-nya yg waktu itu menghilang di antara deburan ombak. "Semua baik, kecuali 2 titik yang akan sangat terjal dalam perjalananmu" menyadari hal ini, pertanyaan baru muncul lagi "INIKAH YG NAMANYA TAKDIR?" mengapa bisa persis seperti yang diramalkan? apakah Usaha dan Doa tak ada pengaruhnya? Semoga aku dikarunia-i hati dan pikiran yang hening dan bening agar dapat memahami maksud-Nya yang sering kali menjadi

Cukup, Sampai di Sini Saja......

Senja ini, saat mentari kembali keperaduannya, udarapun semakin dingin. Dari pada segera tertidur, aku memilih untuk merenungkan kembali perjalanan hidupku, ingin mengenang dan bersyukur atas pengalaman dan cinta yang kuterima dari keluargaku. Alunan biola yang terdengar merdu ditelinga, membawaku pada dua anak kecil berusia 4-5 tahun, Dera dan Gina, adiknya. Mereka bermain peran anak-anakan. Bermain di pertukangan karena tak diijinkan main diluar, bermain disamping ayahnya yang sedang membuat kecapi. Dera menggendong anak yang dibentuknya dari kain sarung, bersama Gina yang berperan menjadi tetangga. Tak terasa sudah berjam-jam dia disana. Hasrat ingin melihat dunia luar dan bermain dihalaman yang luas, menjerit minta dipenuhi. Namun ketakutan sang ayah pada Paneket (paneket = pembunuh) yang dikabarkan sedang berkeliaran diluar sana membuat sang ayah bersikeras untuk tidak membiarkan Dera bermain di luar. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka mengendap-endap keluar dari pintu