Genap setahun aku menjalani hidup ini, di dunia yang berbeda
dengan yang sebelumnya. Jika harus menyimpulkan dengan satu kata aku mengalami
masa setahun ini dengan masa galau tingkat tinggi. Kegalauan ini terutama
berkaitan dengan pengalaman perjalanan hati di dua periode. Periode pertama dan
kedua sama-sama mengenaskan. Periode pertama ceritanya begini. Kusadari bahwa
ada rasa cinta pada seseorang. Jiwa dan raga, seluruhnya terarah padanya. Namun
ternyata aku hanya berbicara pada telinga yang tertutup, hati yang beku dan
bisu. Aku berteriak pada batu karang. Pintu yang kuketuk ngga ada penghuninya, namun
hatiku masih bilang “ia ada dirumah, ia hanya belum dengar suaraku” namun
semakin keras memanggil, semakin kuat pintu itu terkunci. Suaraku akhirnya
parau dan aku kehabisan tenaga, lelah jiwa dan raga. Seperti anak-anak, yang
memanggil-manggil mamanya, namun tak didengar, aku sedih, marah dan berontak.
Semua kuanggap sampah dan tak berarti. Tak ada harapan, tak ada rasa percaya.
Semuanya sia-sia belaka. Syukur, ada satu dua telinga yang mendengar dan
menjadi bahu yang menopang, kala kaki tak mampu berdiri diatas kaki sendiri.
Sampai akhirnya aku pasrah dan belajar realistis, bahwa telinga yang aku
teriakin itu tertutup, jadi tak ada gunanya jika aku terus berteriak. Lalu
meski hati berat, bahkan dengan lunglai, akhirnya kuberanjak pergi, meski mata
sesekali melihat kearahnya. Aku Pasrah saja.
·
Saat kepasrahan mulai timbul dalam hati, saat berulangkali jeritan jiwa itu
kutumpahkan pada telinga yang lain, saat dalam hati terpatri tekad untuk tak
mau mengawali apapun, justru saat itu sebuah babak baru diawali. “Waiting trees
now jail are and so cow cool in now”.
Aku
punya harapan baru lagi. aku bisa terbang bebas lagi, aku bisa tertawa lagi dan
malam kelamku perlahan-lahan tersingkir. Namun ternyata semua itu hanya untuk
sementara, karna babak baru dengan cerita baru kembali menjadi seperti sebuah
hantaman yang tak kalah kerasnya seperti periode pertama. Aku terkapar lagi,
terjerembab mencium tanah berlumpur, hingga aku merasa memang dunia ini
ditakdirkan untuk seperti itu.
Hari-hari kututup dengan
hati galau, suara parau dan akhirnya tertidur dipangkuan malam karna lelah
sepanjang malam menangis, meratapi nasib. Malam-malamku kelabu lagi. Hari
kututup dengan hampa. Kemarau panjang dimulai lagi.
Komentar
Posting Komentar