Pernahkan engkau berada dalam sebuah penantian?
Jika pernah ngalaminya maka kamu
adalah orang yang tepat untuk mendengakan sharingku, karna engkau tahu
bagaimana rasanya dan seperti apa prosesnya dan aku tak perlu menjelaskannya.
Selain itu mungkin kamu orang yang tepat karena pengalamanmu bisa jadi pelajaran
bagiku.
Sekarang kumulai. Begini. Setelah
sesi hidup yang sebelumnya, ada dua impian besar yang aku punya diawal
kehidupanku. Sejauh kusadari, aku adalah seorang yang nggak mau berhenti hanya
pada sebuah pengharapan atau pemikiran ini dan itu. Maka sambil berharap pada
Sang Hyang Punya, aku berjuang dan berusaha mewujudkannya. Doa, puasa dan kerja
keras kulakukan.
Ada orang bilang berdasarkan
pengalaman mereka “jika kamu percaya, berdoa dan berusaha, kamu pasti akan
mendapatkannya” orang lain lagi mengatakan “jika kamu percaya dan berusaha
meraih mimpimu, seluruh alam raya akan membantumu untuk mewujudkannya” dan aku
sendiri juga pernah meyakini berdasarkan pengalamanku “jika aku punya mimpi,
berdoa dan berjuang untuk mendapatkannya, aku yakin bahwa Gusti Pangeran nggak
akan menutup mata untuk semua itu. Amin”. Nah.. berdasarkan pengalaman juga, ku
sadar bahwa proses dan hasilnya nggak akan mulus-mulus aja. Mungkin bisa
kugapai dengan mudah, atau justru aku perlu berdarah-darah dulu (pinjam
kata-kata sso).
Nah, Berbekal keyakinan bahwa
Allah nggak akan menutup mata jika kita berdoa dan berjuang, aku berusaha,
berjuang untuk mimpi yang kupunya, hingga batas waktu yang ditetapkan. Ternyata
usahaku gagal total. Ketika satu impian dan usaha itu ternyata gatot alias
gagal total, kupikirkan alternative lain yang mungkin bisa membantuku untuk
mewujudkan impian itu. ternyata hasilnya sama aja. Gatot. Sebagai manusia biasa
aku sempat berputus asa dan bertanya pada Sang Hyang Kuasa. “God… what do You want? Apakah aku sangat
berdosa sehingga doa, harapan dan usahaku tak Ngkau berkati?”
Seperti yang sudah-sudah, tak ada
jawaban yang kudapatkan.
Dalam keputus-asaan, aku menjadi pemberontak, yang selalu bertanya dan
protest. Bahkan ketika doa Bapa Kami yang biasa menenangkan jiwa, kudengar (tak
kuucapkan), hatiku langsung protest dan berkata “itu semua omong kosong”.
Kusadari bahwa aku terhanyut dalam kekecewaanku dan menjadi seperti anak kecil
yang permintannya untuk dibelikan petasan tak terkabul, seperti anak kecil yang
tak diizinkan manjat pohon ditebing yang curam. Aku menjadi kekanak-kanakan. Keyakinan
yang kuat tentang kekuatan keyakinan yang kumiliki, ternyata membuatku
terkapar. Sebenarnya, secara pribadi aku juga nggak ingin
berbicara dengan Dia, nggak ingin ketemu dengan Dia. Namun kuikuti saja
keinginan jiwa, untuk datang kerumah-Nya meski hanya diam seribu bahasa, tanpa
kata, tanpa pinta, tanpa harapan. Pengalaman ini mengajariku tentang sebuah
pelajaran baru “berpegang teguh pada keyakinan memang baik namun jangan curahkan
seluruh jiwa untuk menggapainya, karena meski keyakinan dan usaha sebesar
gunungpun, jika Sang Hyang Kuasa tak berkenan, semua hanya akan menjadi
kesia-siaan belaka. Untuk itu, kuputuskan untuk meninjau kembali keyakinan dan
usaha yang kubangun, bahkan melepas idealism, keyakinan dan usaha yang
kulakukan, lalu membuat langkah baru. Meski tak sesuai harapan namun semoga
menjadi yang terbaik. Amen.
Komentar
Posting Komentar