Langsung ke konten utama

TAK ADA GADING YANG TAK RETAK

Maret 2017. kulalui dengan sebuah kegalauan besar.
Saat aku mendengar sebuah ungkapan rasa marah dan kecewa.
dari dia yang merasa dilukai dan dikhianati olehmu.
Ntah aku harus percaya, ntah aku hanya perlu mendengarnya saja.
Yang pasti kuyakini bahwa dibalik ceritanya terselip sebuah harapan untuk aku membantunya.

Sempat aku bingung harus bereaksi seperti apa.
lalu aku memilih untuk diam sejenak.
meredakan rasa marah dan sesal yang perlahan namun pasti menggerogoti jantung hatiku.

Hmmmm….
Diamku membuatmu bertanya "jangan-jangan"
lalu menyimpulkan sendiri,
Mungkin karena rasa takut dan rasa bersalah yang bercokol dalam dadamu
atau memang kamu tak berpikir sedikitpun tentang itu karena merasa bahwa aku percaya dengan pembelaanmu.

Sungguh..
Tak sanggup aku menatap wajahmu,
aku takut bola mataku memancarkan emosi yang membara dihatiku.
menyimpannyapun menyesakkan dadaku
seperti bisul yang setiap kali bergerak terkena gesekan baju.

akhirnya
"Kabar yang kudengar ini benar" kata hatiku.
dan kata ini membuatku semakin marah.

Tak kusangka, sungguh. aku tak menyangka.
Kepercayaan yang kutitipkan padamu, kau obrak abrik sebegitu rupa.
"Tega kali kau bah"

ingin kudamprat dan kucaci maki kalian berdua
tapi hatiku bilang "Jangan.. maafkanlah dia"

DAN AKU MENGIKUTI SUARA HATIKU

Ya… memang TAK ADA GADING YANG TAK RETAK.
tak seorangpun manusia yang terlepas dari kesalahan.
Meski hatiku masih menangis tapi ku dengarkan hatiku
AKU MEMAAFKANMU dan menangis untukmu
Mungkin semua ini juga menjadi penderitaan juga buat jiwamu.
Jalan ini pasti terasa terjal bagimu..
Karna hatimu yang penuh cinta dan harap
Harus kembali menjadi sepi bagaikan rumah tak bertuan.

Aku MEMAAFKANMU,
tapi tolong jangan diulang lagi,
bukan demi Ntala Gewangku saja. 
Tetapi demi kamu

Iya… demi kamu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAPI memang AKU RINDU

Thn 2011. nama-mu sering kali disematkan padaku dan namaku disematkan pada-mu Tak heran.. karna memang kita selalu bersama, bag sepasang sendal jepit atau bag kertas dan pena. kita saling melengkapi. kadang sama-sama jelek dan sama-sama bagus. kadang saling meninggalkan namun tak lupa pulang dan saling mencari. kita pernah bergumul dalam lumpur, berkubang dalam debu bersama, Berteriak bersama, tertawa ngakak walau tanpa alasan. Kita bersama.. Saling menguatkan meski sering tak sejalan. Pertengkaran kita bagaikan perang saudara, seakan tak pernah akan akur lagi. Namun setelah sesi diam yang tak pasti waktunya, kita "bicara" lagi dan berpelukan lagi Ah.. sebenarnya aku ingin lupa denganmu. sebenarnya aku ingin lari dari hadapanmu sebenarnya aku ingin tak bertemu denganmu lagi. TAPI AKU RINDU.. Mungkinkah kedatanganmu dalam mimpiku.. ...untuk memegang tanganku lagi? ...hendak menepuk-nepuk bahuku? ... hendak memberi hati dan telingamu dan terisak lalu tertaw

JALAN INI-KAH???

Thn 2015 Waktu itu gw sedang kuliah semester akhir, pergi ke Bali, dan bertemu sahabat. disana kusampaikan segala penat dan pergumulan batin.. termasuk pertanyaan yang bercokol di pikiranku "QUO VADIS DOMINO?" Tak sengaja, ketika bertemu sahabat, bekenalan dengan sahabat baru, sesaat. Melalui kartunya (TAROT), mulai dibaca-nya jalan panjang yang akan kulalui. namun suaranya sayup, tak terdengar jelas di ingatanku, meski terdengar jelas di telingaku. Ketika jalan yang diramalkannya itu kulalui, saat itu pula terhenyak dengan jelasnya suara-nya yg waktu itu menghilang di antara deburan ombak. "Semua baik, kecuali 2 titik yang akan sangat terjal dalam perjalananmu" menyadari hal ini, pertanyaan baru muncul lagi "INIKAH YG NAMANYA TAKDIR?" mengapa bisa persis seperti yang diramalkan? apakah Usaha dan Doa tak ada pengaruhnya? Semoga aku dikarunia-i hati dan pikiran yang hening dan bening agar dapat memahami maksud-Nya yang sering kali menjadi

Cukup, Sampai di Sini Saja......

Senja ini, saat mentari kembali keperaduannya, udarapun semakin dingin. Dari pada segera tertidur, aku memilih untuk merenungkan kembali perjalanan hidupku, ingin mengenang dan bersyukur atas pengalaman dan cinta yang kuterima dari keluargaku. Alunan biola yang terdengar merdu ditelinga, membawaku pada dua anak kecil berusia 4-5 tahun, Dera dan Gina, adiknya. Mereka bermain peran anak-anakan. Bermain di pertukangan karena tak diijinkan main diluar, bermain disamping ayahnya yang sedang membuat kecapi. Dera menggendong anak yang dibentuknya dari kain sarung, bersama Gina yang berperan menjadi tetangga. Tak terasa sudah berjam-jam dia disana. Hasrat ingin melihat dunia luar dan bermain dihalaman yang luas, menjerit minta dipenuhi. Namun ketakutan sang ayah pada Paneket (paneket = pembunuh) yang dikabarkan sedang berkeliaran diluar sana membuat sang ayah bersikeras untuk tidak membiarkan Dera bermain di luar. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka mengendap-endap keluar dari pintu