Suatu
waktu, saat usiaku 11 tahun, saat aku duduk di kelas 5 SD. hari ketika hari menjelang malam, aku melihat Bude Tata datang
dengan langkah cepat, sambil ngomel, suaranya membahana, menumpahkan luapan amarahnya karena kehilangan uang. suaranya seakan bergema
diseluruh pelosok desa, mengumumkan pada dunia
"woi... uwoii... dunia dengarkan aku...
aku sedang kehilangan uang,
yang aku kumpulkan dari hasil usahaku,
dari hasil perjuangan berjualan dan bekerja di sawah.
Aku marah dan sangat marah pada orang yang telah mencurinya.
Aku ingin dia dipermalukan, agar seluruh dunia tahu bahwa dia 'pencuri'.
Dunia... dengarkan aku
(seluruh warga di sekitar itu segera berkumpul, orang-orang yang kebetulan sedang nongkrok di warung Bude Tata yang waktu itu sangat ramai, orang-orang dari tetangga sebelah, yang sedang lewat depan rumah Bude Tata sepulang dari ladang. Ibu-ibu, anak-anak perempuan dan anak-anak yang sedang mandi di kali, semua berkumpul di halaman rumah Bude Tata. Sekali lagi Bude Tata mengulang...). "
Dunia... dengarkan aku...
aku sedang kehilangan uang.
telah kutanyakan pada orang pintar, katanya,
yang mencuri adalah anak perempuan berambut panjang sepinggang, berkulit putih.
Dan... pencurinya adalah...
'itu'". Sebuah tudingan dengan jari telinjuk lurus, seakan menghunjam bola mataku, menusuk tepat dipusat jantungku. Matanya melotot tajam membuat tubuhku bergetar ketakutan, tenggorokanku kering seperti tanah tandus dimusim kemarau, tak ada setetespun air ada di sana. Suaraku tercekat di ujung lidah, kelu dan aku sangat ketakutan.
"woi... uwoii... dunia dengarkan aku...
aku sedang kehilangan uang,
yang aku kumpulkan dari hasil usahaku,
dari hasil perjuangan berjualan dan bekerja di sawah.
Aku marah dan sangat marah pada orang yang telah mencurinya.
Aku ingin dia dipermalukan, agar seluruh dunia tahu bahwa dia 'pencuri'.
Dunia... dengarkan aku
(seluruh warga di sekitar itu segera berkumpul, orang-orang yang kebetulan sedang nongkrok di warung Bude Tata yang waktu itu sangat ramai, orang-orang dari tetangga sebelah, yang sedang lewat depan rumah Bude Tata sepulang dari ladang. Ibu-ibu, anak-anak perempuan dan anak-anak yang sedang mandi di kali, semua berkumpul di halaman rumah Bude Tata. Sekali lagi Bude Tata mengulang...). "
Dunia... dengarkan aku...
aku sedang kehilangan uang.
telah kutanyakan pada orang pintar, katanya,
yang mencuri adalah anak perempuan berambut panjang sepinggang, berkulit putih.
Dan... pencurinya adalah...
'itu'". Sebuah tudingan dengan jari telinjuk lurus, seakan menghunjam bola mataku, menusuk tepat dipusat jantungku. Matanya melotot tajam membuat tubuhku bergetar ketakutan, tenggorokanku kering seperti tanah tandus dimusim kemarau, tak ada setetespun air ada di sana. Suaraku tercekat di ujung lidah, kelu dan aku sangat ketakutan.
Dalam
sekejab semua mata tertuju kepadaku. Seperti kerikil-kerikil tajam
yang dilemparkan berulang-ulang keseluruh tubuhku. Gemerutuknya riuh
rendah dengan berbagai nada yang semuanya menghunjam tajam.
"hah?
Dia? Dia yang mencuri? Anak siapa itu? Malu-maluin aja"
"hei....
dasar. Pencuri"
"hm...
gak tahu malu. Pencuri"
"cantik-cantik...
nyolongan"
"ya
pantas aja, dia kan miskin, tuh liatin rumahnya aja cuma satu meter
kotor, gak ada kamar, makan aja sulit"
"ck....ck...ck"
Pandangan
sinis dan penuh amarah. Semuanya terarah padaku. Dunia serasa
kiamat. Aku berharap tiba-tiba ada gempa dan bumi terbelah,
menelanku. Tapi semua itu tidak terjadi.
Satu persatu kerumunan pergi sambil memperbincangkan kejadian sore ini seakan-akan baru saja terjadi sebuah tragedi yang sangat dahsyat. Aku sangat malu, seperti wanita yang baru saja kedapatan berzinah, terancam hukum rajam dan digiring dari tempat perzinahannya.
Satu persatu kerumunan pergi sambil memperbincangkan kejadian sore ini seakan-akan baru saja terjadi sebuah tragedi yang sangat dahsyat. Aku sangat malu, seperti wanita yang baru saja kedapatan berzinah, terancam hukum rajam dan digiring dari tempat perzinahannya.
Hari
semakin malam, gelap tapi aku tak berani pulang kerumah. Aku takut
membayangkan akan menyaksikan air mata mama. Aku takut membayangkan
betapa hatinya terluka parah dan berdarah-darah karena malu dan
marah. Aku takut membayangkan ayahku diam terpaku seakan meratapi
nasib. Seakan meratapi matahari yang bersinar sangat terik.
Sesampainya di depan rumah, aku hanya mengintip mama yang duduk dekat
tungku perapian,. Semakin tampak tua dan keriput ketika wajahnya
tersiram air mata berkali-kali. Ntah apa arti air mata itu, aku tak
tahu.
"air
mata kasihan padaku? Atau air mata penyesalan karena punya anak
seperti aku? Atau air mata malu dan marah karena kelakuanku? Aku tak
tahu".
Sementara
ayah duduk di samping mama. Tanpa suara. Adik dan kakakku duduk disudut
ruangan yang lain, tak tahu harus berbuat apa dan aku tak tahu apa
yang ada di benak mereka.
"ma.. pa.. tolong aku... aku malu Ma.... aku takut Pa... aku
hanya mencuri 10.000 koq, buat mbayar tunggakan uang sekolahku
yang dah 3 bulan nggak di bayar-bayar. karna aku malu ma temen-temen. Aku
takut nggak boleh ujian. Maaf Ma/Pa karena aku nyuri uangnya orang
kaya itu. Maaf. Ma... aku ingin pulang, masuk ke rumah. Aku lapar.
Dah malam banget nih hari, aku takut sendirian di luar sini.
Tolong tolehkan matamu ke pintu sini dong Ma.. Pa..., aku ada di
depan pintu, mengapa kalian tak sedetikpun mau menoleh ke pintu? apakah kalian sudah tak peduli shg nggak nyari aku lagi? Aku
mau koq dimarahin, tapi tolong cari aku dan minta aku pulang kerumah
Ma.. Pa.. maafkan aku mbuatmu malu".
"Yuda..... cari adikmu sana, suruh dia pulang kerumah"
tiba-tiba suara mama yang parau sehabis nangis, memecah keheningan. Nadanya
pilu bercampur sedikit nada marah. Tapi aku lega. Meski aku langsung
lari bersembunyi agar kakak tak segera bisa menemukan aku. Setelah
main petak umpet dan ditemukan oleh kakak, aku masuk kerumah.
Kutundukkan kepala, tak berani tengadah. Tak berani melihat sosok
Mama dan Papa. Dan aku berdiri tak bergeming di dekat pintu masuk.
Keesokan
harinya. Ketika pagi menjelang. Waktu untuk kesekolahpun tiba. Aku
bergerillya, berangkat sekolah melalui sawah, melalui tempat-tempat
yang sebisa mungkin gak akan papasan dengan orang. Terutama
teman-temanku dan keluarga Bude Tata. Namun, apa boleh buat,
disekolah aku harus bertemu dengan orang-orang sedesa denganku.
Dannn.... "Dunia dalam Berita" telah tersiar keseantoro
sekolahanku. Ingin kutanggalkan wajahku dan kucelupkan disawah,
kubenamkan di dalam lumpur dan aku berjalan tanpa wajah atau dengan
wajah yang lain. Namun itu juga tak bisaaaaaa....
"woro-woro...Atta
pencuri uang"
"pencuri....
Pencuri... pencuriiii"
Sorak
dan cibiran kemenangan terdengar dari mahluk-mahluk berambut panjang
dan pemakai rok merah itu. Aku benci mahluk itu. Aku benci
mengapa aku terlahir sebagai mahluk yang sama dengan mahluk pencibir
dan penyebar berita memalukan itu. Bibirku diam terkatup. Dalam hati
kuumumkam perang dengan mereka.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
cukup lama aku bergerillya dan tak pernah berani unjuk muka. ke sungai siang hari, berangkat sekolah ketika jalanan masih sepi. bermain dihalaman ketika anak-anak malas untuk keluar rumah. namun suatu waktu aku ketemu dengan sosok lain yang berbeda dari mahluk berambut panjang. dia tak suka berbicara tentang anak lain. sukanya perang-perangan dan menggembalakan kerbau, dia juga suka bermain dihutan dan berani memanjat pohon. kami lalui hari-hari bersama, perang-perangan, manjat pohon dan menggembalakan kerbau. hingga aku merasa mereka adalah kaumku.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
sampai disini, dipersimpangan ini, PETUALANGAN DIMULAI. (Bersambung)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
cukup lama aku bergerillya dan tak pernah berani unjuk muka. ke sungai siang hari, berangkat sekolah ketika jalanan masih sepi. bermain dihalaman ketika anak-anak malas untuk keluar rumah. namun suatu waktu aku ketemu dengan sosok lain yang berbeda dari mahluk berambut panjang. dia tak suka berbicara tentang anak lain. sukanya perang-perangan dan menggembalakan kerbau, dia juga suka bermain dihutan dan berani memanjat pohon. kami lalui hari-hari bersama, perang-perangan, manjat pohon dan menggembalakan kerbau. hingga aku merasa mereka adalah kaumku.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
sampai disini, dipersimpangan ini, PETUALANGAN DIMULAI. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar