Wahai alam semesta… salam jumpa. Senang
ketemu dengan-Mu lagi. Kemana aja Kamu pergi? Mengapa jejak-Mu tak bisa kubaca?
Tak tahukah Engkau kalo aku ingin bercerita dengan-Mu. Ayolah duduk sebentar,
aku ingin bercerita.
Semesta… Apa Kamu masih ingat
pada seorang gadis yang mengejar cintanya pada sebuah masa yang sebenarnya
masih belum lama ini? Kalo Kamu lupa, biar aku ingatkan, karna mungkin
catatan-Mu terlalu tebal dan banyak, sehingga cerita itu terselip entah dimana.
Aku yakin Engkau ingat cerita itu, karna Engkau adalah saksi dari semua cerita.
Namun agar lebih segar diingatan-Mu, biar cerita itu kuulangi lagi.
Begini. Pada awal Mei tahun 2013,
gadis itu mengawali hidup dengan sejuta kekecewaan. Disamping itu, ia juga
membawa sebuah harapan. Harapan akan menemukan cinta yang bersemi dihatinya. Ia
mengejar cinta itu dan membangun mimpi didalamnya, sampai iapun tersadar bahwa
itu hanya mimpi disiang bolong, mimpi sipungguk merindu bulan. Ia tersadar
bahwa teriakan jiwanya yang menawarkan rasa yang suci, yaitu cinta yang tulus, hanya
bagaikan tiupan angin sepoi yang lewat ditelinga yang tertutup dan mati rasa
(atau sengaja membuat benteng). Meski demikian, ia tetep aja berteriak, hingga
akhirnya, ia lelah, lunglai, terduduk tak berdaya. Namun daya hidup yang
tinggal dalam dirinya memaksa untuk berdiri, dan melanjutkan perjalanan. Satu
tekad yang dia bangun adalah menatap kedepan, biarlah yang lalu menjadi bagian
dari masa lalu. Meski demikian, ternyata memang nggak semudah yang dibayangkan.
Cerita perjuangannya terungkap juga dibibir dan dari hati yang memang merindu.
Cerita perjuangan itu ternyata terungkap dibibir, tentang harap yang mengakar
pada cinta yang pernah bertumbuh dijiwanya, pada cinta yang mengalir dalam
darahnya. Singkatnya, meski ia ingin cerita masa lalu tertutup, namun karena
sempat terungkap, maka tak bisa ditutup begitu saja. Nggak bisa tertutup begitu
aja, karna meski ia menutup, orang lain juga kerap membukanya.
Setelah episode ini, mulailah
episode selanjutnya. Menapaki perjalanan baru dengan harapan baru. Iklas dan
tulus ia menjalaninya. Setidaknya demikian ia merasakan dan mengalaminya.
Aliran darah hidup dan nafas kehidupan baru membuat semuanya menjadi baru. Ada
tanaman baru yang bertumbuh subur, pelan-pelan mekar dan ada harapan untuk
berbuah. Tanaman baru itu adalah rasa cinta. Rasa cinta pada seseorang yang
lain. Rasa cinta dan sayang yang setiap
hari disiram dengan cinta yang sama.
Seiring berjalannya waktu, ia
menyadari bahwa kandungan air yang menyiram tanaman itu ternyata membuat
kuntumnya menjadi kerdil, ia bertumbuh dalam rasa takut. Kuntum bunga yang
tampak hampir mekar, menciut dan menarik diri kambali. Rasa curiga yang setiap
saat ditujukan padanya membuatnya enggan tuk menunjukkan kelopaknya.
Ah alam semesta, sekarang mari kita klarifikasi dan aku ingin bertanya
pada-Mu “mengapa mesti ada rasa curiga? Ataukah tanaman itu harus melalui semua
fase ini agar tumbuh menjadi besar? Jika iya mengapa hati ngga bisa
memahaminya? Mengapa jiwa ngga bisa mengerti, agar tetap tegar dan teguh
membiarkan kelopak itu memekarkan bunganya? Mengapa justru jiwa merasa takut
dan tertekan? Mengapa?? Mengapa?? Dan mengapa??? Taukah engkau, bahwa semuanya itu
membuatnya penat? Akh, Kamu tentunya tahu itu, karna tak satupun yang
tersembunyi dihadapan-Mu.
Wahai Alam
semesta, dia yang bertanya itu adalah aku, karna gadis yang hadir beberapa
waktu yang silam itu adalah aku. Saat ini, aku memutuskan untuk berhenti
sesaat. Aku memutuskan untuk rehat sejenak, agar punya waktu untuk bertanya
pada-Mu. Agar aku punya waktu untuk bernafas lagi dan bertanya pada darahku.
Nang ning nong ning nang ning
nong….
Nang ning nang ning nang ning
nong… (suara alunan music yang mengiringi srintil, ronggeng dukuh paruk, yang
terdengar ditengah malam, ditengah sawah, terdengar sayup dari kejauhan,
tatkala kesedihan melanda desanya)
Nang ning
nang ning nang ning nong…. (srintil menari, lemah gemulai, ketika disaat yang
sama hatinya teriris penat dan jerit pilu)
Wahai Alam Semesta… ketika aku mengambil
waktu untuk diam, aku merasa sepi yang panjang melanda. Perlahan rasa rindu
menyeruak dalam dada, rasa sakit dan perih laksana luka yang disiram garam,
terasa sangat nyata, muncul karna rasa rindu pada dia yang aku cinta. Namun semua
itu kupendam saja. Meski rasa sakit membuncah sampai diubun-ubun, meski rasa
sakit karna rindu hampir meledak memecah dada, namun saat ini aku memilih untuk
diam membisu. Memberi sedikit pelajaran pada hati, karna selama ini membiarkan
hati yang lain terluka karena merasa terabaikan olehku. Biar aku tau rasanya
sakit yang melanda jiwa, biar aku tau rasanya perihnya luka baru yang tersiram
garam karna rindu yang tak tertahankan. Hingga nanti, saat akhirnya aku merasa
cukup, merasa cukup menghukum diri karna telah mengabaikan hati yang
mengharapkan cintaku. Saat itu aku akan
kembali.
Namun aku terlambat. Aku
terlambat. Karna pintu itu sudah tertutup rapat. Tertutup sangat rapat. Untuk
selamanya. Sekarang pertanyaan kedua kuhaturkan pada-Mu, “Sungguhkah semua ini
Engkau yang rencanakan atau ini bagian dari kebodohanku??? Jika ini bagian dari
kebodohanku, bolehkah aku aku tahu sedikit jalan cerita yang Engkau rancangkan
didepanku??? Agar setidaknya aku tak salah mengambil langkah lagi. Aku ku tak
salah membuat keputusan lagi dan jatuh dilobang yang sama lagi.
Atau pertanyaan ketiga, yang
sebenarnya adalah pertanyaan kesekianku yang tak terhitung jumlahnya, “apakah
pintu itu sungguh sudah tertutup untukku? Jika Ya… aku akan iklas menjalaninya,
meski seorang diri. Meski rasa pilu pasti akan menghantam lagi. Tapi…. Aku mau
berjalan menyusuri lorong ini, hingga diujung. Karna kutahu Engkau menantiku
diujung jalan ini.
Wahai
Alam Semesta…. Sudah akh… terlalu banyak aku bercerita, seolah-olah aku yang
lebih tau, padahal semua cerita adalah milik-Mu. Sekarang… adakah sesuatu yang
ingin Engkau ungkapkan pada-ku????
Ya sudah, kalo ungkapan dan
pesan-Mu harus kucari dan kutemuak dalam perjalananku. Tidak apa-apa. Sekali
lagi. Aku akan berjalan lagi. Aku percaya, Engkau menanti-ku diujung jalan ini,
dan aku berharap ujung jalan ini tak terlalu jauh lagi. Ya semoga ujung jalan
ini tak terlalu jauh lagi. Semesta…. Terima kasih sudah duduk sejenak
bersama-ku. Aku percaya, Engkau menantiku diujung jalan ini.
Komentar
Posting Komentar