Langsung ke konten utama

Di Ujung Jalan ini, II (Hari ke-160 di 2014)



Wahai alam semesta… salam jumpa. Senang ketemu dengan-Mu lagi. Kemana aja Kamu pergi? Mengapa jejak-Mu tak bisa kubaca? Tak tahukah Engkau kalo aku ingin bercerita dengan-Mu. Ayolah duduk sebentar, aku ingin bercerita.
Semesta… Apa Kamu masih ingat pada seorang gadis yang mengejar cintanya pada sebuah masa yang sebenarnya masih belum lama ini? Kalo Kamu lupa, biar aku ingatkan, karna mungkin catatan-Mu terlalu tebal dan banyak, sehingga cerita itu terselip entah dimana. Aku yakin Engkau ingat cerita itu, karna Engkau adalah saksi dari semua cerita. Namun agar lebih segar diingatan-Mu, biar cerita itu kuulangi lagi.
Begini. Pada awal Mei tahun 2013, gadis itu mengawali hidup dengan sejuta kekecewaan. Disamping itu, ia juga membawa sebuah harapan. Harapan akan menemukan cinta yang bersemi dihatinya. Ia mengejar cinta itu dan membangun mimpi didalamnya, sampai iapun tersadar bahwa itu hanya mimpi disiang bolong, mimpi sipungguk merindu bulan. Ia tersadar bahwa teriakan jiwanya yang menawarkan rasa yang suci, yaitu cinta yang tulus, hanya bagaikan tiupan angin sepoi yang lewat ditelinga yang tertutup dan mati rasa (atau sengaja membuat benteng). Meski demikian, ia tetep aja berteriak, hingga akhirnya, ia lelah, lunglai, terduduk tak berdaya. Namun daya hidup yang tinggal dalam dirinya memaksa untuk berdiri, dan melanjutkan perjalanan. Satu tekad yang dia bangun adalah menatap kedepan, biarlah yang lalu menjadi bagian dari masa lalu. Meski demikian, ternyata memang nggak semudah yang dibayangkan. Cerita perjuangannya terungkap juga dibibir dan dari hati yang memang merindu. Cerita perjuangan itu ternyata terungkap dibibir, tentang harap yang mengakar pada cinta yang pernah bertumbuh dijiwanya, pada cinta yang mengalir dalam darahnya. Singkatnya, meski ia ingin cerita masa lalu tertutup, namun karena sempat terungkap, maka tak bisa ditutup begitu saja. Nggak bisa tertutup begitu aja, karna meski ia menutup, orang lain juga kerap membukanya.
Setelah episode ini, mulailah episode selanjutnya. Menapaki perjalanan baru dengan harapan baru. Iklas dan tulus ia menjalaninya. Setidaknya demikian ia merasakan dan mengalaminya. Aliran darah hidup dan nafas kehidupan baru membuat semuanya menjadi baru. Ada tanaman baru yang bertumbuh subur, pelan-pelan mekar dan ada harapan untuk berbuah. Tanaman baru itu adalah rasa cinta. Rasa cinta pada seseorang yang lain.  Rasa cinta dan sayang yang setiap hari disiram dengan cinta yang sama. 
Seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kandungan air yang menyiram tanaman itu ternyata membuat kuntumnya menjadi kerdil, ia bertumbuh dalam rasa takut. Kuntum bunga yang tampak hampir mekar, menciut dan menarik diri kambali. Rasa curiga yang setiap saat ditujukan padanya membuatnya enggan tuk menunjukkan kelopaknya.
Ah alam semesta, sekarang  mari kita klarifikasi dan aku ingin bertanya pada-Mu “mengapa mesti ada rasa curiga? Ataukah tanaman itu harus melalui semua fase ini agar tumbuh menjadi besar? Jika iya mengapa hati ngga bisa memahaminya? Mengapa jiwa ngga bisa mengerti, agar tetap tegar dan teguh membiarkan kelopak itu memekarkan bunganya? Mengapa justru jiwa merasa takut dan tertekan? Mengapa?? Mengapa?? Dan mengapa??? Taukah engkau, bahwa semuanya itu membuatnya penat? Akh, Kamu tentunya tahu itu, karna tak satupun yang tersembunyi dihadapan-Mu.  
Wahai Alam semesta, dia yang bertanya itu adalah aku, karna gadis yang hadir beberapa waktu yang silam itu adalah aku. Saat ini, aku memutuskan untuk berhenti sesaat. Aku memutuskan untuk rehat sejenak, agar punya waktu untuk bertanya pada-Mu. Agar aku punya waktu untuk bernafas lagi dan bertanya pada darahku.
Nang ning nong ning nang ning nong….
Nang ning nang ning nang ning nong… (suara alunan music yang mengiringi srintil, ronggeng dukuh paruk, yang terdengar ditengah malam, ditengah sawah, terdengar sayup dari kejauhan, tatkala kesedihan melanda desanya)
Nang ning nang ning nang ning nong…. (srintil menari, lemah gemulai, ketika disaat yang sama hatinya teriris penat dan jerit pilu)
Wahai Alam Semesta… ketika aku mengambil waktu untuk diam, aku merasa sepi yang panjang melanda. Perlahan rasa rindu menyeruak dalam dada, rasa sakit dan perih laksana luka yang disiram garam, terasa sangat nyata, muncul karna rasa rindu pada dia yang aku cinta. Namun semua itu kupendam saja. Meski rasa sakit membuncah sampai diubun-ubun, meski rasa sakit karna rindu hampir meledak memecah dada, namun saat ini aku memilih untuk diam membisu. Memberi sedikit pelajaran pada hati, karna selama ini membiarkan hati yang lain terluka karena merasa terabaikan olehku. Biar aku tau rasanya sakit yang melanda jiwa, biar aku tau rasanya perihnya luka baru yang tersiram garam karna rindu yang tak tertahankan. Hingga nanti, saat akhirnya aku merasa cukup, merasa cukup menghukum diri karna telah mengabaikan hati yang mengharapkan cintaku.  Saat itu aku akan kembali.
Namun aku terlambat. Aku terlambat. Karna pintu itu sudah tertutup rapat. Tertutup sangat rapat. Untuk selamanya. Sekarang pertanyaan kedua kuhaturkan pada-Mu, “Sungguhkah semua ini Engkau yang rencanakan atau ini bagian dari kebodohanku??? Jika ini bagian dari kebodohanku, bolehkah aku aku tahu sedikit jalan cerita yang Engkau rancangkan didepanku??? Agar setidaknya aku tak salah mengambil langkah lagi. Aku ku tak salah membuat keputusan lagi dan jatuh dilobang yang sama lagi.
Atau pertanyaan ketiga, yang sebenarnya adalah pertanyaan kesekianku yang tak terhitung jumlahnya, “apakah pintu itu sungguh sudah tertutup untukku? Jika Ya… aku akan iklas menjalaninya, meski seorang diri. Meski rasa pilu pasti akan menghantam lagi. Tapi…. Aku mau berjalan menyusuri lorong ini, hingga diujung. Karna kutahu Engkau menantiku diujung jalan ini.
Wahai Alam Semesta…. Sudah akh… terlalu banyak aku bercerita, seolah-olah aku yang lebih tau, padahal semua cerita adalah milik-Mu. Sekarang… adakah sesuatu yang ingin Engkau ungkapkan pada-ku????
Ya sudah, kalo ungkapan dan pesan-Mu harus kucari dan kutemuak dalam perjalananku. Tidak apa-apa. Sekali lagi. Aku akan berjalan lagi. Aku percaya, Engkau menanti-ku diujung jalan ini, dan aku berharap ujung jalan ini tak terlalu jauh lagi. Ya semoga ujung jalan ini tak terlalu jauh lagi. Semesta…. Terima kasih sudah duduk sejenak bersama-ku. Aku percaya, Engkau menantiku diujung jalan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAPI memang AKU RINDU

Thn 2011. nama-mu sering kali disematkan padaku dan namaku disematkan pada-mu Tak heran.. karna memang kita selalu bersama, bag sepasang sendal jepit atau bag kertas dan pena. kita saling melengkapi. kadang sama-sama jelek dan sama-sama bagus. kadang saling meninggalkan namun tak lupa pulang dan saling mencari. kita pernah bergumul dalam lumpur, berkubang dalam debu bersama, Berteriak bersama, tertawa ngakak walau tanpa alasan. Kita bersama.. Saling menguatkan meski sering tak sejalan. Pertengkaran kita bagaikan perang saudara, seakan tak pernah akan akur lagi. Namun setelah sesi diam yang tak pasti waktunya, kita "bicara" lagi dan berpelukan lagi Ah.. sebenarnya aku ingin lupa denganmu. sebenarnya aku ingin lari dari hadapanmu sebenarnya aku ingin tak bertemu denganmu lagi. TAPI AKU RINDU.. Mungkinkah kedatanganmu dalam mimpiku.. ...untuk memegang tanganku lagi? ...hendak menepuk-nepuk bahuku? ... hendak memberi hati dan telingamu dan terisak lalu tertaw

Cukup, Sampai di Sini Saja......

Senja ini, saat mentari kembali keperaduannya, udarapun semakin dingin. Dari pada segera tertidur, aku memilih untuk merenungkan kembali perjalanan hidupku, ingin mengenang dan bersyukur atas pengalaman dan cinta yang kuterima dari keluargaku. Alunan biola yang terdengar merdu ditelinga, membawaku pada dua anak kecil berusia 4-5 tahun, Dera dan Gina, adiknya. Mereka bermain peran anak-anakan. Bermain di pertukangan karena tak diijinkan main diluar, bermain disamping ayahnya yang sedang membuat kecapi. Dera menggendong anak yang dibentuknya dari kain sarung, bersama Gina yang berperan menjadi tetangga. Tak terasa sudah berjam-jam dia disana. Hasrat ingin melihat dunia luar dan bermain dihalaman yang luas, menjerit minta dipenuhi. Namun ketakutan sang ayah pada Paneket (paneket = pembunuh) yang dikabarkan sedang berkeliaran diluar sana membuat sang ayah bersikeras untuk tidak membiarkan Dera bermain di luar. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka mengendap-endap keluar dari pintu

JALAN INI-KAH???

Thn 2015 Waktu itu gw sedang kuliah semester akhir, pergi ke Bali, dan bertemu sahabat. disana kusampaikan segala penat dan pergumulan batin.. termasuk pertanyaan yang bercokol di pikiranku "QUO VADIS DOMINO?" Tak sengaja, ketika bertemu sahabat, bekenalan dengan sahabat baru, sesaat. Melalui kartunya (TAROT), mulai dibaca-nya jalan panjang yang akan kulalui. namun suaranya sayup, tak terdengar jelas di ingatanku, meski terdengar jelas di telingaku. Ketika jalan yang diramalkannya itu kulalui, saat itu pula terhenyak dengan jelasnya suara-nya yg waktu itu menghilang di antara deburan ombak. "Semua baik, kecuali 2 titik yang akan sangat terjal dalam perjalananmu" menyadari hal ini, pertanyaan baru muncul lagi "INIKAH YG NAMANYA TAKDIR?" mengapa bisa persis seperti yang diramalkan? apakah Usaha dan Doa tak ada pengaruhnya? Semoga aku dikarunia-i hati dan pikiran yang hening dan bening agar dapat memahami maksud-Nya yang sering kali menjadi